ISU GENDER DI PEMILU AUSTRALIA


Isu gender mewarnai kampanye untuk Pemilu di Australia 2010, di mana Perdana Menteri (PM) Julia Gillard berhadapan dengan kandidat dari Partai Liberal Tony Abbott. Berdasarkan jajak pendapat dan acara debat di jaringan televisi nasional, mendapati para pemilih perempuan lebih cenderung mendukung PM Gillard, perdana menteri perempuan pertama di Australia, yang merebut tampuk kekuasaan dari Kevin Rudd pada 24 Juni lalu. Para pemilih perempuan di Australia nampaknya kurang menyukai pemimpin partai oposisi Tony Abbott, seorang mantan atlet yang menjadi politisi dan kerap difoto berbusana renang speedo dan mengayuh sepeda balap. Abbott adalah pria yang menikah dan memiliki tiga putri. Dalam kampanyenya, ia membawa serta keluarga, istri dan anak-anaknya. Sementara itu PM Gillard, perempuan yang tidak menikah dan tidak punya anak, tidak berniat membawa sang pacar Tim Mathieson dalam sesi-sesi kampanye.
Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Nielson pada 24 Juli lalu mendapati 58 persen perempuan pemilih mendukung pemerintahan Partai Buruh dibawah Gillard dan 42 persen memilih partai oposisi yang dipimpin oleh Abbott. Secara nasional, yang mencacah perempuan dan laki-laki, sekitar 54 persen calon pemilih akan memilih Gillard dan 46 persen memilih Abbott. Dalam debat pun,  perempuan beraksi positif setiap kali Gillard berbicara dan beraksi negatif saat Abbott berbicara.
Pemilih perempuan di Australia kemungkinan besar tidak menyukai Abbott atas kebijakannya di anti-aborsi dan seks pra-nikah, Sawer menjelaskan bahwa mereka juga memperhatikan isu-isu lain seperti kesehatan, kesejahteraan, dan layanan masyarakat yang lebih disorot oleh Partai Buruh. Kemungkinan perempuan pemilih saat ini punya kecenderungan untuk memilih Gillard karena ingin melihat perempuan akhirnya terpilih dan menjadi pemimpin di Negara mereka.

Isu gender bukanlah hal yang baru buat pemilihan umum di Australia. Para pemilih berjenis kelamin laki-laki lebih mendukung partai oposisi dibanding perempuan, hal ini terbukti dalam tiga pemilu sebelumnya. Pemilih perempuan tampaknya bermasalah dengan Abbott, tokoh berhaluan konservatif.
Marian Sawer, profesor politik dan isu gender dari Australian National University, mengatakan sentimen gender bukan sesuatu yang baru. kecenderungan isu gender pernah terjadi beberapa kali di Australia dan di negara-negara Barat lain. Contohnya, sentimen gender dalam pemilu pernah terjadi di Selandia Baru selama delapan tahun periode Helen Clark menjabat sebagai PM hingga 2008.
Memang untuk berbaur dalam Dunia Politik bagi perempuan tidaklah seperti mudahnya membalikan telapak tangan. Perempuan mempunyai kewajiban tersendiri dan tidak hanya melulu mengurus urusan politik, mengurus keluarga misalnya adalah merupakan tugas terpenting perempuan. Oleh karena itu caleg perempuan tidak akan dapat berkonsentrasi penuh seperti caleg laki – laki untuk memenangkan pemilu melalui kampanye – kampanye, sosialisasi, dan sebagainya.
Anggota parlemen Partai Buruh mengangkat Gillard sebagai PM Australia perempuan pertama dalam sepanjang sejarah politik Australia. Hal ini penting mengingat walaupun mengaku sebagai negara demokrasi Australia masih menunjukkan kepemimpinan politik yang didominasi laki-laki. Paling tidak terdapat empat hal yang menarik untuk dicermati dari kacamata gender dibalik terpilihnya Julia Gillard sebagai wujud representasi formal kaum perempuan dalam institusi pemerintahan Australia.
Naiknya Gillard ke tampuk pemerintahan tertinggi di Australia telah menciptakan momentum bagi representasi perempuan dalam institusi politik di Australia secara lebih serius. Sebagai penyandang reputasi internasional negara pelopor hak-hak politik perempuan, Australia tergolong lambat dibanding negara-negara demokrasi barat lainnya dalam merealisasikan hak-hak politik perempuan secara nyata. Finlandia misalnya, hanya memerlukan waktu setahun bagi kaum perempuannya untuk dilantik sebagai anggota parlemen setelah menikmati hak-hak politiknya pada tahun 1906. Hal serupa juga terjadi di Belanda (1918), Jerman (1919) dan Inggris (1918) dimana pelantikan anggota parlemen perempuan hanya berselang tidak lebih dari satu tahun sejak diberikan hak-hak politiknya.
Hak suara dalam pemilu dan hak duduk dalam parlemen nasional yang diberikan kepada perempuan Australia pada tahun 1902, baru terealisasi 40 tahun kemudian. Tepatnya pada tahun 1943, untuk pertama kalinya perempuan Australia Senator Dorothy Tangney dan Dame Enid Lyons dilantik menjadi anggota parlemen nasional Australia. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa prestasi Australia sebagai pelopor pejuang hak-hak politik perempuan ternyata tidak serta merta diikuti oleh eksistensi akan representasi politik kaum perempuannya di arena publik dan kebijakan legislasi perempuan yang progresif.
Keberanian Gillard untuk berkompetisi dengan Rudd dalam konvensi Partai Buruh yang membuahkan kemenangan baginya menunjukkan adanya perubahan karakteristik perempuan kelas menengah (middle-class women) di Australia. Sebagai politisi perempuan yang dapat dikatakan termasuk dalam kategori tersebut, Gillard telah berani menunjukkan sikapnya untuk bersedia dipilih sebagai pengganti Kevin Rudd. Walaupun menurut pangakuannya, pada awalnya Gillard tidak berniat menduduki posisi PM, tapi karena ada tekanan dari pihak negara bagian Victoria, New South Wales dan Australia Selatan, maka Gillard berubah pikiran.
Gillard menegaskan eksistensinya dalam ruang lingkup politik yang lebih luas. Hal ini penting mengingat pada masa lalu karakteristik perempuan kelas menengah Australia lebih banyak berkutat dalam politik di level Negara bagian (states) dan tidak banyak bermain di level nasional (federal). Diantara para politisi perempuan tersebut adalah Edith Cowan (Australia Barat), May Holman (Australia Barat), Millicent Preston Stanley (New South Wales), Irene Longman (Queensland), Lady Millie Peacock (Victoria), Florence Cardell-Oliver (Australia Barat), Ivy Weber (Victoria), Fanny Brownbill (Victoria) dan Mary Quirk (New South Wales).
Kemunculan Gillard, yang berstatus perempuan single (tidak menikah) dan tidak memiliki anak, dalam pentas politik Australia juga mampu mendobrak asumsi yang berkembang tentang “motherhood” seorang pejabat publik. Secara umum, terdapat ekspektasi sosial bahwa perempuan yang menikah lebih dapat diterima oleh publik daripada perempuan yang belum pernah atau gagal menunjukkan peran kewanitaannya sebagai seorang istri dan ibu.
Negara lebih dilihat sebagai “only the larger home” dimana tetap ada pembagian tugas yang dianggap alami antara laki-laki/perempuan dan perempuan tetap berperan sebagai pelengkap bagi laki-laki. Meskipun telah terjadi perubahan jaman, asumsi akan lebih dihargainya status perempuan menikah dalam perannya sebagai pejabat publik masih melekat dan menjadi perdebatan di kalangan masyarakat Australia. Perdebatan tentang status Gillard ini telah menjadi bahan perbincangan sejak Gillard pertama kali menjabat sebagai Deputi PM tahun 2007.
Terpilihnya Gillard sebagai PM perempuan pertama berkorelasi erat dengan perolehan suara dari kaum perempuan Australia, paling tidak pada Pemilu Nasional bulan Oktober 2010. Banyak kalangan memprediksi bahwa tampilnya Gillard akan mampu mendongkrak perolehan suara Partai Buruh. Gillard juga dipercaya akan mampu bersaing dengan pemimpin partai Oposisi Konservatif, Tony Abbott, dalam memperebutkan posisi PM Australia periode berikutnya.
Berdasarkan jajak pendapat terbaru, kalangan perempuan Australia akan lebih memilih Gillard daripada Abbott dengan perbandingan angka 53 persen lawan 23 persen dalam pemilu selanjutnya. Untuk menuju dan menjaga perolehan tersebut, tentu saja masa pemerintahan transisi dibawah pemerintah Gillard akan menghadapi berbagai tantangan. Namun paling tidak, posisi dan status Gillard sebagai seorang politisi perempuan diharapkan dapat menawarkan keberagaman pandangan politik, yang akan berkontribusi dalam proses demokratisasi pada sistem politik dan pemerintahan Australia.



BacA jUgA iNi



Category:

0 comments:

Post a Comment