KETERLIBATAN MNC DALAM KEJAHATAN KEMANUSIAAN DI NEGARA BERKEMBANG

Semula, negara dipenuhi dengan “rambu-rambu dan pagar”, kini dengan adanya arus liberalisasi negara menjadi rata. Setelah tanah diratakan, masuklah MNC yang kebetulan tengah mengalami pertumbuhan cepat pada tahun 1990-an. Apakah MNC itu? Menurut W.F. Schoell (1993), MNC adalah sebuah perusahaan yang berbasis di satu negara (disebut negara induk) dan memiliki kegiatan produksi dan pemasaran di satu atau lebih negara asing (negara tuan rumah). Menurut S.C. Certo (1997) MNC adalah sebuah perusahaan yang memiliki operasi yang signifikan pada lebih dari satu negara Dengan kekuatan modal, teknologi dan sistem manajemen yang baik, MNC’s mengontrol aliran modal, teknologi dan bahkan distribusi barang melintasi batas2 negara.

Hampir tidak ada satu negara pun di dunia yang tidak terdapat MNC. MNC bermarkas di negara-negara maju, Eropa, Jepang, Kanada, Amerika Serikat. Ada beberapa yang berasal dari negara-negara berkembang, tetapi belum banyak. USA merupakan negara yang paling banyak memiliki MNC yang menguasai perekonomian dunia. Dekade 60-an: 40% total investasi asing di dunia dilakukan oleh USA’s MNC’s.

MNC umumnya bergerak di bidang manufaktur, juga di bidang industri berat (minyak dan tambang), juga jasa keuangan (bank). Modal mereka peroleh dari pasar saham negara asal, juga dari pasar saham di seluruh dunia. Jumlah MNC saat ini tidak kurang dari 63.000 (Gabel dan Bruner, 2004). Contoh MNC diantaranya Chevron Corporation, Coca-Cola, Exxon, General Motors, Google, LG Electronics, McDonald's, Mercedes Benz, dan Microsoft.

Dengan adanya MNC, Negara mendapat banyak keuntungan diantaranya basis pajak yang lebih besar, meningkatnya jumlah tempat (kesempatan) kerja, alih teknologi, ekspansi modal, diperkenalkannya jenis industri khusus, dan Pengembangan sumber daya lokal. Namun di balik berbagai keuntungan tersebut, timbul banyak keluhan Negara tentang MNC, seperti: MNC mencari laba yang berlebihan, mendominasi perekonomian setempat, hanya mempekerjakan tenaga lokal yang sangat berbakat, gagal melakukan alih teknologi yang maju, melakukan intervensi terhadap pemerintah, kurang membantu perkembangan perusahaan domestik, dan kurang menghormati adat, hukum dan kebutuhan setempat.

MNC memilih Negara berkembang sebagai sasaran utama ekspansi modalnya karena di sana tenaga kerja serta upahnya kecil dan biasanya aturan-aturan hukum nasionalnya lebih longgar dibandingkan Negara maju. Ini akan menjadi problematika tersendiri karena pada akhirnya elit politik Negara bersangkutan akan menjadi pelayan MNC bukan warga negaranya sendiri sehingga akan berdampak pada keengganan untuk memberlakukan kekuatan hukum yang ketat terhadap praktek-praktek perusahaan yang dekstruktif.

Di negara-negara berkembang, hampir setiap aspek dari kehidupan komunitas telah terkena dampak dari operasi Perusahaan Multinasional. Tidak sedikit sejarah yang mencatat keterlibatan MNC dalam perseteruan politik nasional. Bahkan MNC sampai bisa mempunyai kapasitas dalam menentukan jatuh-tidaknya satu rejim. Singkatnya, Perusahaan Multinasional di beberapa negara berkembang kemungkinan mendapatkan ‘dukungan’ yang luas melalui kebijakan-kebijakan dari sebagian besar pemerintah yang tidak melindungi, atau yang secara langsung melanggar, hak-hak dari warga negaranya.

Meskipun MNC membawa banyak keburukan bagi negara penerima, namun pemerintah tetap mempertahankannya. Dilema ini mungkin berkaitan langsung dengan kepentingan dari negara dan perusahaan. Prioritas negara adalah kepentingan ekonominya, khususnya ketika berusaha untuk menarik para investor, Sebagian pemerintahan mungkin benar-benar tidak efektif dalam hal ini demi alasan-alasan ketamakan politis mereka sendiri karena ketakutan mereka akan kehilangan investasi yang berlawanan dengan juridiksi. MNC bisa memilih bersembunyi dibalik pemerintah di tingkat internasional.

Pengoperasian perusahaan di wilayah yang dikontrol oleh sebuah rezim yang tidak demokratik akan menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan oleh kebanyakan penguasa. Perusahaan Multinasional di beberapa negara berkembang kemungkinan mendapatkan dukungan yang luas melalui kebijakan-kebijakan dari sebagian besar pemerintah yang tidak melindungi, atau yang secara langsung melanggar, hak-hak dari warga negaranya. Perusahaan Multinasional kebanyakan tidak pernah ditekan untuk bertindak dengan pendekatan yang bertangungjawab secara sosial di banyak negara di mana aturan hukum itu sendiri sangat lemah dan kebanyakan pemerintah tidak sanggup atau tidak punya kemauan untuk memperkuat standar-standar itu. Perusahaan Multinasional akan beroperasi dengan pendekatan yang tidak bertangungjawab ketika mereka berhubungan dengan kebanyakan pemerintahan yang tidak demokratis.

Menurut salah satu penelitian, pada tahun 2003, gugatan yang menggunakan Alien Tort Claim Act / ATCA (gugatan dari pihak asing untuk menuntut individu asing maupun domestik atau perusahaan di Pengadilan AS) telah diajukan terhadap lebih dari 50 perusahaan multinasional yang melakukan bisnis di negara berkembang, dengan permintaan lebih dari $ 200 trilyun sebagai hukuman atas kerusakan yang ditimbulkan. Kendati perusahaan berhasil meniadakan kasus sebelum persidangan, angka tersebut semakin lama semakin bertambah dan menyulitkan perusahaan multinasional. Beberapa kasus tersebut antara lain:

Gugatan Kepada Exxon Mobil di Aceh
Gugatan terhadap Exxon Mobil menyatakan bahwa perusahaan itu harus bertanggungjawab atas keterlibatannya dalam teror yang dilakukan pihak militer Indonesia di Aceh dengan melakukan pembunuhan massal, penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan dan “penghilangan” paksa tanpa hukum secara sewenang-wenang. Perusahaan itu dituduh telah menyediakan fasilitas gedung yang digunakan pihak militer Indonesia untuk menyiksa penduduk lokal yang dicurigai memiliki hubungan dengan GAM serta peralatan berat perusahaan seperti mesin pengeruk yang digunakan untuk menggali kuburan massal terhadap korban-korban kekerasan militer. Perusahaan juga digugat telah membeli perlengkapan militer untuk pasukan keamanan yang bertugas di proyek mereka dan membayar tentara sewaan untuk memberikan nasehat, latihan, intelejen serta perlengkapan militer di wilayah proyek gas. Gugatan itu mengatakan pula bahwa pasukan keamanan Indonesia telah menggunakan dana perusahaan untuk operasi militer yang dirancang untuk menghancurkan perlawanan di Aceh dan meningkatkan kemampuan untuk melakukan taktik-taktik represif melawan kaum separatis di Aceh.
Namun Exxon Mobil menolak bertanggungjawab atas perilaku pasukan yang menjaga fasilitas operasi mereka. Mereka mengatakan Exxon “mengutuk pelanggaran HAM dalam berbagai bentuk” dan mereka telah mengatakannya secara aktif kepada presiden Indonesia.

Gugatan Kepada Unocal dan Shell di Myanmar
Kasus Unocal kali pertama didaftarkan tahun 1996 atas nama petani Myanmar, yang menuduh militer Burma melakukan teror dan pemerkosaan, serta mempekerjakan mereka secara paksa dan untuk membersihkan semak dan membangun jalan untuk saluran pipa gas Unocal yang dimiliki bersama dengan perusahaan minyak milik Negara Myanmar, dan Perancis. Dalam kasus ini, para penduduk menklaim bahwa perusahaan Unocal bertanggungjawab atas dasar keterlibatan kesalahan yang dilakukan Junta. Pada kasus Unocal ini, terdakwa yaitu pihak perusahaan menyediakan langsung dorongan dan bantuan kepada mereka yang melakukan tindakan pelanggaran HAM.

Kasus Shell Nigeria
Perusahaan ini dituntut lantaran keterlibatannya dalam pelanggaran HAM berat di Ogoniland, Nigeria. Perusahaan Kanada Talisman Energy (menyewa penasehat militer Shell untuk berkoordinasi dengan pemerintah, dan secara rutin mengadakan pertemuan yang melibatkan Talisman, intelijen militer, serta Menteri Energi dan Pertambangan di mana Talisman akan memetakan wilayah yang hendak dieksplorasi sehingga perlu untuk dibicarakan bagaimana cara mengatur masyarakat sipil pada daerah tersebut).

Studi Kasus Khulumani Afrika Selatan
Kasus Khlumani di Afrika Selatan (Afsel), diajukan pada 29 September 2004 ke pengadilan New York. Dalam kasus ini pemerintah dan perusahaan-perusahaan Afrika Selatan diminta membayar dana kemanusiaan sebesar $20 milyar. Yang menjadi tuntutan perkara Khulumani adalah bahwa MNC melanggar hukum internasional dan dilibatkan dalam kolusi dengan aparat keamanan negara apartheid. Dengan dukungan perusahaan ini, pemerintahan apartheid menjalankan pembunuhan di luar pengadilan, penyiksaan, pemerkosaan, penahanan sewenang-wenang, serta beragam kejahatan kamunusiaan.

Saat ini tidak ada satu kerangka aturan internasional yang mengatur perilaku perusahaan internasional, sehingga gugatan perdata menjadi satu-satunya cara untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan. Wacana tentang pertangungjawaban perusahaan mencuat dalam responnya terhadap ketidakmampuan atau ketidakmauan dari sebagian pemerintah untuk mengadopsi dan mengimplementasikan legislasi yang adil yang memproteksi warga negaranya dari dampak buruk yang ditimbulkan oleh aktivitas dari perusahaan. Perusahaan harus mengambil tindakan untuk memastikan bahwa standar-standar internasional diterapkan, atau kurang lebih, tidak secara perkecualian melanggar, dalam menghargai hal-hal yang ditimbulkan oleh operasi mereka di negara di mana pemerintah kekurangan sumberdaya atau insentif untuk mengambil tindakan protektifnya sendiri.
Organisasi-organisasi internasional yang lain, termassuk PBB, Amnesty Internasional, dan Human Rights Watch, telah menawarkan berbagai standar tentang pertangungjawaban korporasi dalam rangka untuk mendorong Perusahaan Multi Nasional untuk bertindak serta bertangungjawab dengan pendekatan sosial terhadap komunitas-komunitas lokal, namun mengakui bahwa kepentingan korporasi dalam menghasilkan keuntungan tidak bisa dikesampingkan seluruhnya. Organisasi-organisasi resmi mengungkapkan bahwa standar-standar kolektif berhubungan dengan pengawasan atau monitoring, walaupun secara sukarela diadopsi dan diterapkan, memberikan insentif yang kuat bagi korporasi-korporasi untuk bertindak serta bertangungjawab secara sosial, khususnya dalam industri-industri di mana jenis produk dan respon pemakai mempunyai dampak signifikan dalam penjualan di pasar.
Salah satu prinsip Norma-norma PBB tentang pertangungjawaban dari Perusahaan Transnasional dan Perusahaan Bisnis lainya dengan berdasarkan pada Hak-hak Asasi Manusia menegaskan bahwa:
“Korporasi Transnasional dan usaha bisnis lainnya harus mengakui dan menghargai norma-norma penerapan dari hukum internasional, hukum nasional dan regulasi-regulasi, juga praktek-praktek administratif, aturan hukum, kepentingan publik, tujuan-tujuan pembangunan, kebijakan-kebijakan ekonomi dan budaya termasauk transparansi, akountabilitas dan pencegahan korupsi, dan kewenangan dari negara di mana perusahaan beroperasi.”

Kelompok-kelompok masyarakat sipil, termasuk organisasi lokal, dengan dukungan dari pemerintah (jika sebagian besar pemerintahan mempunyai kemampuan), sangat penting dalam mendorong korporasi untuk bertindak secara bertangungjawab. Menurut Loomis, “tidak ada yang bisa mempengaruhi dengan baik manajemen perusahaan dan direktur perusahaan ‘untuk berpikir tentang fungsi mereka’ selain NGO (Organisasi Non Pemerintahan), konsumer, pemerintah, dan masyarakat secara keseluruhan.”


DAFTAR PUSTAKA

• WEB

MNC dan Hukum Internasional
http://thenextmadura.blogspot.com/2009/01/mnc-dan-hukum-internasional.html diakses tanggal 22 Desember 2010
Hak-Hak Buruh
http://asianfoodworker.net/ri/?cat=1
diakses tanggal 22 Desember 2010
Negara, Multinational Corporation (MNC) dan Buruh
http://finance.groups.yahoo.com/group/fspmi/message/2369
diakses tanggal 22 Desember 2010

Perusahaan Multinasional Mulai Lebih Terbuka
http://berita.kapanlagi.com/ekonomi/nasional/perusahaan-multinasional-mulai-lebih-terbuka.html
diakses tanggal 22 Desember 2010

Perusahaan Multinasional
http://hukum.kompasiana.com/2010/07/11/perusahaan-multinasional/
diakses tanggal 22 Desember 2010

Keberadaan Perusahaan Multinasional Dan Respon Pemerintah Negara Penerima
http://www.scribd.com/doc/24675064/Keberadaan-Perusahaan-Multinasional-Dan-Respon-Pemerintah-Negara-Penerima
diakses tanggal 22 Desember 2010

Perusahaan multinasional dan pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat adat: Sebuah studi kasus terhadap perusahaan tambang di Papua Barat
http://sahe-institute.blogspot.com/2005/01/perusahaan-multinasional-dan.html
diakses tanggal 23 Desember 2010

BacA jUgA iNi



Category:

0 comments:

Post a Comment