MEKANISME PENYELESAIAN KONFLIK DIANTARA NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA

Tantangan ASEAN untuk mengatasi masalah dispute teritorial sebenarnya bisa dilakukan di dalam badan ASEAN itu sendiri yang bertumpu pada mekanismenya sendiri.

a. ASEAN telah memiliki Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) sebagai code of conduct dalam penyelesaian konflik di kawasan melalui Dewan Agung (High Council), namun sampai sekarang negara-negara anggota ASEAN justru lebih percaya kepada pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya. Salah satu alasan kenapa High Council tidak pernah digunakan oleh negara anggota ASEAN untuk menyelesaikan konflik internalnya adalah karena hampir semua konflik teritorial di kawasan Asia Tenggara selalu berhubungan dengan Malaysia sebagai pihak yang bersengketa. Dengan kata lain, Malaysia punya sengketa wilayah (teritorial) dengan hampir semua negara anggota ASEAN. Hal ini tentu menyulitkan penunjukkan negara mana yang bisa dijadikan perantara (wasit) sebagai mediasi untuk menyelesaikan sengketa perbatasan, karena hampir dipastikan bahwa itu memberikan banyak keuntungan bagi Malaysia.

b. Pihak ketiga (Mahkamah Internasional). Kasus Sipadan & Ligitan antara Malaysia-Indonesia yang diselesaikan oleh Mahkamah Internasional adalah bukti lemahnya mekanisme penyelesaian konflik internal di antara negara-negara anggota ASEAN. Kasus Kuil Preah Vihear yang menimbulkan ketegangan antara Thailand-Kamboja beberapa waktu lalu, telah menyebabkan Kamboja meminta bantuan PBB. Padahal semula Kamboja berupaya meminta bantuan ASEAN, tetapi ASEAN malah mendorong ke 2 negara itu bisa menyelesaikan sendiri masalahnya secara bilateral.

Dalam penyelesaian masalah perbatasan sesungguhnya telah cukup banyak rujukan yang bisa dipakai. Diantaranya ada
a. United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi PBB tentang hukum Kelauatan).
b. sejumlah Keputusan ICJ yang bisa dijadikan acuan dalam perundingan masalah perbatasan. Penyelesaian perbatasan laut untuk segmen barat antara RI-Singapura, dengan membuat rujukan bersama sebagai pedoman penyelesaian masalah perbatasan, juga menjadi contoh baik. Akan tetapi, dalam banyak penyelesaian masalah perbatasan, keberadaan itikad baik (good will) dari pihak-pihak yang bersengketa juga menjadi modal utama yang sangat menentukan. Sayangnya, banyak pihak lebih senang menggantung maslah perbatasan ini karena berbagai pertumbangan yang lebih banyak berbobot politis.

BacA jUgA iNi



Category:

0 comments:

Post a Comment