Proses penyelesaian konflik Palestina-Israel kembali menemukan momentum. Paling tidak, inilah yang dirasakan dan digembar-gemborkan oleh oleh Presiden Palestina dari kelompok Fatah, Mahmud Abas, dan pemerintah AS.
Momentum ini muncul dengan digelarnya konferensi perdamaian Timur Tengah yang telah digelar di Annapolis, Maryland, AS, November lalu. Konferensi yang digagas AS tersebut pertama kali dikemukakan oleh Presiden George W Bush pada Juli lalu.
Pemerintah AS mengundang perwakilan dari Otoritas Nasional Palestina, Israel, kelompok yang dinamakan Kuartet Timur Tengah (PBB, Uni Eropa, Rusia, dan AS), kelompok negara-negara G8, anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, serta sejumlah negara Arab dan para tetangga. Sekitar 30 negara perwakilan hadir di pertemuan ini.
Sebelum bergulirnya Konferensi ini, sudah banyak konferensi-konferensi dan KTT menyangkut penyelesaian konflik untuk kedua negara (Palestina dan Israel) dan ada banyak kesepakatan dan protokol-protokol yang telah dicapai. Antara lain :
• Proposal Peta Jalan Damai (Peace Road Map) yang disepakati dalam KTT Aqaba namun terancam gagal dilaksanakan. Pasalnya, kelompok-kelompok garis keras baik di pihak Israel maupun pihak Palestina menentang keras kesepakatan hasil kompromi politik itu.
• Kesepakatan Wye River I tahun Oktober 1998,
• Wye River II September 1999, dan
• KTT Camp David II Juli 2000.
Kembali ke konferensi Maryland dimana konferensi ini sendiri, kata pemerintah AS, dimaksudkan untuk mendorong digulirkannya kembali pembicaraan damai Timur Tengah, alias Israel-Palestina, yang telah menggantung selama sekitar tujuh tahun serta untuk mengevaluasi kemajuan dalam membangun demokrasi di kawasan tersebut.
Konferensi ini pula yang membawa Abbas terbang ke Indonesia dan dua negara Muslim Asia Tenggara lainnya, yakni Malaysia dan Brunei Darussalam. Kunjungan ini, pertama kali dilakukan Abbas sejak menjabat presiden pada Januari 2005, untuk mendapatkan dukungan dari kekuatan Muslim utama di Asia. Indonesia, yang dinilai moderat dan merupakan populasi Muslim terbesar di dunia, masuk dalam daftar sumber dukungan utama yang harus dikantongi Abbas.
Abbas agaknya tak akan repot-repot terbang ribuan kilometer ke Indonesia bila ia sendiri tak optimistis akan keberhasilan pertemuan Maryland. Pertemuan ini memang bukan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan apa pun atas solusi konflik Israel-Palestina, namun, seperti diyakini Abbas, bisa menjadi ‘palu pengetok’ bagi digulirkannya kembali pembicaraan perdamaian antara kedua belah pihak.
Tak tanggung-tanggung, Abbas bahkan memiliki keyakinan pembicaraan perdamaian Israel-Palestina akan rampung pada akhir 2008. Dengan kata lain, negara Palestina yang merdeka dan berdaulat akan bisa berdiri pada saat itu.
Israel sendiri kini secara perlahan mulai menunjukkan keinginannya untuk menjadikan pertemuan Maryland sebagai tonggak digulirkanya kembali pembicaraan damai, meski awalnya terlihat malu-malu. Konferensi ini (Maryland) harus dilihat sebagai kesempatan bagi komunitas internasional untuk memberikan dukungan bagi negosiasi mengenai negara (Palestina).
Untuk mencapai keberhasilan, delegasi Israel dan Palestina datang ke konferensi tersebut dengan dokumen bersama. Ini dicapai setelah keduanya terlibat serangkaian pertemuan dalam beberapa waktu terakhir.
Apa yang mengembirakan Abbas adalah dicantumkannya pembahasan masalah-masalah mendasar konflik Israel-Palestina dan status final negara Palestina dalam dokumen tersebut. Di dalamnya termasuk nasib jutaan pengungsi Palestina, masalah perbatasan negara Palestina, dan status Yerusalem Timur. Israel pada akhirnya bersedia mengagendakan masalah-masalah yang selama ini menjadi inti puluhan tahun konflik Israel-Palestina yang kemudian dibicarakan di Maryland.
Kesediaan Israel untuk mengagendakan masalah-masalah mendasar akhirnya muncul sepekan sebelum konferensi. Sebelumnya, Israel hanya berniat untuk menjadikan pertemuan Maryland sebagai ajang pembahasan masalah-masalah ‘remeh-temeh’ seperti masalah keamanan, kemanusiaan, dan masalah keleluasaan gerak bagi warga Palestina.
Para pengamat menilai kesediaan ini sebagai keberhasilan diplomasi Menteri Luar Negeri AS, Condoleeza Rice, yang sibuk menyambangi Olmert, Abbas, dan sejumlah negara Arab untuk memuluskan jalannya pertemuan Maryland.
Abbas sendiri sejak semula bersikap tak akan menghadiri pertemuan Maryland bila tak menyinggung masalah-masalah mendasar dan status final negara Palestina. Ia menilai pertemuan Maryland akan sia-sia jika tak mengangkat masalah ini. Sikap Abbas ini didukung oleh sejumlah negara Arab.
Ibarat dua sisi mata uang. Bagi AS yang selama ini mengklaim bekerja untuk menciptakan perdamaian Timur Tengah dan sejumlah negara Barat, termasuk Abbas sendiri, konferensi perdamaian Timur Tengah di Maryland adalah momentum penyelesaian masalah Israel-Palestina dan jalan menuju berdirinya sebuah negara Palestina.
Namun, bagi Hamas dan sejumlah negara Arab, pertemuan Maryland adalah momentum untuk semakin mengucilkan Hamas dan memecah belah bangsa Palestina. Hamas praktis terisolasi sejak menguasai Jalur Gaza Juni lalu. Peristiwa ini sekaligus mengakhiri pemerintahan nasional bersatu Fatah-Hamas yang terbentuk melalui Kesepakatan Makkah yang digagas Raja Arab Saudi, Abdullah.
Jatuhnya Gaza ke Hamas memaksa Abbas mendeklarasikan pemerintahan darurat sepihak yang dipimpinnya. Abbas juga memutus semua jalur negosiasi dengan Hamas. Langkah Abbas ini mendapat sambutan hangat Barat dan Israel. Sejumlah dukungan mengalir deras ke tangan Abbas. Israel, misalnya, langsung mencairkan dana pungutan pajak warga Palestina yang selama ini ditahannya. Israel juga melepaskan ratusan tahanan Palestina yang sebagian besar berasal dari kelompok Fatah.
Tak hanya itu, Abbas menilai berdirinya pemerintahan darurat yang dipimpinnya sebagai momentum awal bagi dilanjutkannya proses perdamaian Isarel-Palestina. Menurut Abbas, inilah saat yang tepat untuk melanjutkan kembali pembicaraan damai.
Gayung pun bersambut, Presiden AS, George W Bush, Juli lalu melontarkan inisiatif untuk menggelar konferensi internasional Timur Tengah. Serangkaian upaya diplomatik pun sibuk dilakukan pemerintah AS, termasuk pertemuan Abbas-Olmert, sebelum konferensi ini bergulir. Ini pula yang kini membuat Abbas melangkahkan kakinya ke Indonesia.
Hamas sendiri sama sekali tak disinggung dalam pertemuan Maryland. Hamas, yang menolak pertemuan itu, sejak awal menolak perdamaian dengan Israel sepanjang Israel tak angkat kaki dari tanah Palestina. Hamas kini berpotensi semakin tersisih melalui pertemuan ini. Dalam pertemuan itu tidak didapati akan kedudukan Hamas sendiri dalam pemerintahan Palestina.
Sementara itu, dukungan dari negara-negara Arab terhadap pertemuan ini masih tampak cair. Sejumlah sekutu Arab AS, seperti Yordania, Mesir, dan Arab Saudi, meski menanggapi positif usulan AS, tetap menekankan perlunya persatuan bangsa Palestina. Sementara Suriah, negara tetangga yang selama ini dianggap musuh AS, belum mengemukakan jawabannya atas undangan AS untuk hadir di Maryland.
Bagi Indonesia, pertemuan ini juga bagaikan dua sisi mata uang. Indonesia selama ini dikenal sebagai pendukung setia perjuangan rakyat Palestina untuk memiliki negara berdaulat. Di saat bersamaan, pemerintah RI gencar menyerukan persatuan rakyat Palestina dan pembicaraan Hamas-Fatah. Inilah salah bentuk komitmen Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan terhadap konflik yang terjadi di Palestina.
Pertemuan ini ternyata belum menghasilkan resolusi konflik guna menciptakan perdamaian bagi bagi kedua negara yang bertikai. Ada banyak masalah-masalh ekternal dan internal yang luput dari konferensi ini. Dalam waktu dekat akan diadakan kembali konferensi lanjutan untuk membicarakan nasib kedua negara tersebut.
0 comments:
Post a Comment