SOLUSI PENYELESAIAN KONFLIK LAUT CINA SELATAN

Konflik Laut Cina Selatan memang rumit. Selain Cina yang mengklaim seluruh Kepulauan Spratly dan Paracel, terdapat pula Taiwan dan empat negara ASEAN, Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam. Situasi di kawasan itu sendiri sering menimbulkan ketegangan setelah terjadi perang kata-kata antara Filipina dengan Cina atau Vietnam dengan Cina.

Sedikitnya ada tiga kecenderungan dalam penyelesaian klaim tumpang tindih di Laut Cina Selatan (LCS). Pertama, perundingan bilateral antara yang berkepentingan seperti dilakukan Cina dan Filipina. Kedua, jalur perundingan multilateral di mana semua pengklaim berkumpul bersama baik melalui forum internasional maupun regional untuk menyelesaikan kasus mereka. Ketiga, tidak tertutup kemungkinan laras meriam berbicara lebih keras dibanding adu pendapat di meja perundingan.

a. Jalur bilateral
Benarkah jalur bilateral bisa menyelesaikan konflik kedaulatan di LCS? Perkembangan akhir-akhir ini memperlihatkan kenyataan sebaliknya. Filipina meningkatkan kehadiran militer ketika ketegangan dengan Cina meningkat. Cina mengecam Vietnam yang sudah menjalin kerja sama penyelidikan kelautan dengan Rusia. Beijing juga mengkritik Hanoi karena mengizinkan perusahaan minyak AS melakukan eksplorasi di perairan yang diklaimnya. Sejumlah bukti itu memperlihatkan kelemahan kesepakatan bilateral. Memang kontak dua negara bisa dengan cepat menyelesaikan pentingnya pemanfaatan kekayaan alam di LCS. Namun tidak tersentuhnya isu kedaulatan yang menjadi inti konflik menyebabkan kesepakatan itu limbung. Terkena sedikit angin, bubarlah kesepakatan itu digantikan kekuatan militer yang berbicara lebih vokal.

b. Forum multilateral
Satu-satunya forum mulilateral yang ditempuh negara yang terlibat konflik adalah Lokakarya Pengelolaan Konflik di Laut Cina Selatan yang sudah berlangsung lima kali di Indonesia. Meskipun pertemuan itu bersifat informal namun tidak menghilangkan bobotnya sebagai forum tukar pikiran dan kerja sama.

Secara teoritis, jika sudah timbul saling pengertian diharapkan isu inti yakni klaim tumpang tindih di lautan ini bisa ditempuh secara bertahap. Berbagai makalah tentang solusi multilateral sudah diajukan. Misalnya pakar dari Kanada mengambil contoh forum kerja sama di Teluk Maine antara AS dan Kanada. Karena dua negara bersahabat, kerja sama berjalan baik. Namun bila suasana tidak mendukung, seperti terjadi misalnya dalam kerja sama di Laut Baltik, Mediterania dan Laut Hitam, maka hasilnya tak maksimal. Juga hubungan dua negara antara Argentina dan Cile mempersulit kerja sama di Terusan Beagle.

c. Langkah militer
Pembangunan landas pacu dan pengiriman kapal militer oleh Cina bukan rahasia lagi. Klaim yurisdiksi ini bahkan diperkuat landasan hukum di Cina sendiri sehingga bagi militer adalah sah saja menganggap LCS milik Beijing seluruhnya. Mereka yang mengklaim secara sebagian seperti Filipina, Malaysia atau Brunei dianggapnya merongrong kedaulatan.

Bagi negara tetangga Cina, berhadapan dengan naga raksasa ini sangatlah menakutkan. Namun mereka tidak sendiri. Bagi Filipina, keberanian itu dimungkinkan karena keyakinan bahwa Amerika Serikat bahkan mungkin Jepang, takkan membiarkan Cina menjadi kekuatan hegemoni di LCS.

Faktor AS dan Jepang serta Indonesia pada tingkat tertentu menjadikan Cina hanya berani main gertak saja. Persoalannya, main gertak ini kalau justru merunyamkan masalah bisa-bisa terlibat bentrokan terbatas, sesuatu yang bakal mempersulit kerja sama mengelola potensi sumber daya alam di LCS. Lebih-lebih penyelesaian masalah kedaulatan.

BacA jUgA iNi



Category:

0 comments:

Post a Comment