SKANDAL PENYIKSAAN KOMBATAN DI GUANTANAMO

Sejak dimulainya invasi pasukan koalisi AS ke Irak, telah banyak terjadi pelanggaran terhadap hukum internasional, atas penyiksaan dan perbuatan tidak bermoral yang dilakukan oleh tentara Amerika Serikat (AS) dan sekutunya terhadap para tawanan Irak.. Munculnya pelanggaran-pelanggaran dimaksud hampir selalu tertata rapi sehingga yang tampak ke permukaan adalah suatu opini yang menyesatkan bagi masyarakat internasional. Namun, semua itu berakhir ketika stasiun TV CBS di AS menayangkan gambar-gambar tentara AS yang memperlakukan tawanan Irak dengan keji, termasuk menelanjangi, dan menyodok tubuhnya dengan senjata tajam di penjara Abu Ghuraib yang terletak dekat kota Bagdad. Tidak ketinggalan surat kabar The Daily Mirror di London memuat gambar seorang prajurit Inggris yang sedang mengencingi tawanan Irak yang sedang tertutup matanya.

Kejadian-kejadian yang disajikan oleh media elektronik maupun media cetak menjadikan Presiden AS George W. Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair kalang kabut. Mereka sibuk melakukan "klarifikasi" dan mengutuk tindakan para prajurit mereka di penjara warisan rezim Sadam Hussein. Namun, apakah dengan seluruh klarifikasi yang diberikan dan diajukannya para prajurit ke muka pengadilan militer lalu AS dan Inggris bisa lepas tangan begitu saja. Dapatkah negara AS dan Inggris dimintakan pertanggungjawabannya di muka Mahkamah Internasional (International Court of Juctice-ICJ). Ataukah AS dan Inggris telah melupakan bahwa tindakan para tentaranya hanyalah kesalahan prosedur dan bukan merupakan pelanggaran atas kewajiban hukum internasional.

AS telah menahan lebih dari 83.000 orang sejak melancarkan “perang melawan terror” empat tahun silam. dari jumlah itu, 14.500 orang masih ditahan dan 108 orang mati dalam tahanan AS. Menurut Human Rights Watch, pejabat pemerintah AS yang berbicara secara anonym kepada wartawan bahwa para tahanan itu telah disiksa atau diperlakukan secara tidak manusiawi di dalam tahanan.

Alasan AS memiliki “tempat-tempat rahasia” di eropa timur ialah karena di sana perlakuan kasar terhadap tersangka teror tidak akan menimbulkan banyak pertanyaan; juga di Timur Tengah seperti Yordania dan Mesir, karena AS dapat mengakali hukum di sana.

Dalam konferensi pers baru-baru ini, sekjen amnesty internasional, Irene Khan, mengomentari pengakuan mantan tahanan yang mengalami penyiksaan “cerita mereka hanyalah salah satu unsur kecil saja dari penderitaaan yang amat buruk akibat perang melawan terror” . ia mengingatkan bahwa “Guantanamo hanyalah puncak dari gunung es, penyiksaan dan perlakuan kasar terus dilegitimasi oleh perang melawan terror”.

Dua ratus tahanan di Guantanamo bay melakukan mogok makan sejak 11 Agustus dalam rangka memprotes kondisi di pusat tahanan itu. Ironisnya Donald Rumsfeld malah mengatakan bahwa para tahanan yang melakukan mogok makan itu sedang berdiet.
Sejumlah agen CIA dilaporkan telah melanggar sumpah jabatan dengan mengungkapkan teknik-teknik interogasi yang kejam dan tidak manusiawi. Yang harus mereka jalankan.karena diperintahkan dipenjara-penjara rahasia diseluruh dunia termasuk pembekuan dan penenggelaman tahanan . mereka juga membocorkan teknik-teknik interogasi canggih, didalamnya termasuk menenggelamkan, membekukan, membuat tidak tidur, menyetrumdan menampar.penggunaan setiap teknik terhadap masing-masing tahanan harus mendapat izin, dalam setiap tahapnya hingga menggunakan “water board”.

Di fasilitas CIA di Kabul yang dikenal dengan sebutan “Salt Pit”, seorang petugas/pejabat di sana yang digambarkan orang yang muda dan belum berpengalaman menggunakan perlakuan dingin terhadap seorang tahanan, yang dibiarkan diluar gedung telanjang ditengah malam yang begitu dingin membekudi Afghanistan. Tahanan itu lalu mati karena hipotermia. Keberadan fasilitas penahanan ini merupakan aspek paling rahasia dalam “perang melawan teror”-nya Amerika ini sangat kontras dengan kamp tahanan dan penjara yang dikelola oleh militer seperti teluk Guantanamo di Kuba atau Abu Ghraib di Irak, dimana mustahil menyembunyikan seluruh aktivitas CIA dari pengawasan public. Lokasi “tempat-tempat rahasia”, identitas orang-orangyang ditahan disana dan aktifitas penyiksaan yang dilakukan dipenjara-penjara rahasia, hanya diketahui oleh segelintir pejabat-pejabat AS.

Dari tahun Perlakuan terhadap tawanan perang dalam sebuah konflik bersenjata internasional diatur oleh konvensi jenewa II, terutama pasal 17, yang meyatakan bahwa: “tidak boleh melakukan kekerasan fisik maupun mental, tidak boleh juga melakukan bentuk pemaksaaan lainnya, yang ditujukan untuk bisa memperoleh informasi dari mereka. Tawanan perang yang menolak untuk memberikan jawaban tidak boleh di ancam, dihina atau di beri perlakuan yang tidak menyenangkan.”

Namanya juga aturan manusia, apalagi yang membuatnya adalah Negara-negara besar yang sarat akan berbagai kepentingan, maka di dalam konvensi jenewa ataupun konvensi lain tentang perlindungan terhadap penyiksaan, tetap saja ditemukan celah-celah untuk berkelit dari jerat hukum internasional. Bisa berupa tidak tercakupnya kondisi kondisi tertentu.

Alasan AS menangkapi dan menjebloskan para tersangka ‘teroris’ ke penjara-penjara miliknya dan mereka dibiarkan terkungkung selama bertahun-tahun tanpa ada prosespengadilan. AS berkilah bahwa para tersangka ‘teroris’ itu tidak termasuk kategori tawanan militer, karena mereka tidak dimasukkan dalam kelompok prajurit. Disamping itu kebanyakan para tersangka teroris memiliki kewarganegaraan yang tidak jelas sehingga mereka kehilangan hak perlindungan berdasarkan konvensi jenewa.

Ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional yang berkenaan dengan perlakuan terhadap tawanan perang telah diatur dalam suatu perjanjian internasional. Konvensi Internasional Jenewa tahun 1949 telah disepakati oleh negara-negara di dunia untuk mengatur Hukum Perang dan Hukum Humaniter. Konvensi Internasional Jenewa tahun 1949 Buku Ketiga yang judul aslinya Geneva Conventioan relative to the Treatment of Prisoners of War, mengatur mengenai perlakuan wajib terhadap tawanan perang (Konvensi Jenewa 1949). Konvensi Jenewa 1949 ditaati oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk AS dan Inggris dan negara-negara bukan anggota PBB.

Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 memuat bahwa konvensi ini berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan maupun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu pihak. Sehingga, AS tidak dapat berkelit dari pengaturan dimaksud dalam kasus invasinya AS terhadap Irak. Sesuai dengan Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 diatur bahwa "...anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka yang tidak lagi turut serta karena sakit, luka-luka, dan penahanan atau apa pun sebabnya dalam keadaan bagaimana pun, harus dilakukan sesuai dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apa pun juga yang didasarkan atas suku warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan atau setiap ukuran lainnya serupa itu."

Sebagaimana dimuat dalam Pasal 13 Konvensi Jenewa 1949 diatur pula bahwa tawanan perang harus diperlakukan dengan perikemanusiaan dan dilarang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Kelalaian negara yang melakukan penawanan yang mengakibatkan kematian atau yang membahayakan kesehatan tawanan perang yang berada di bawah pengawasannya harus dianggap pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa 1949. Pasal 14 Konvensi Jenewa 1949 menegaskan pula bahwa tawanan perang dalam segala keadaan berhak akan penghormatan terhadap pribadi dan martabatnya.

Jelaslah sudah bahwa tentara AS dan Inggris telah nyata-nyata melakukan pelanggaran atas hukum internasional. Perlakuan tentara AS dan Inggris terhadap para tahanan Irak telah melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung pada Konvensi Jenewa 1949 terutama sebagaimana termuat dalam Pasal 3 dan Pasal 14 dimaksud.
Tindakan yang dilakukan oleh tentara AS dan Inggris sudah sejatinya harus dipertanggungjawabkan sesuai hukum yang berlaku di negara mereka masing-masing. Namun, Konvensi Jenewa 1949 mengatur bahwa perlakuan keji terhadap tawanan perang menjadikan negara yang melakukan penawanan harus ikut pula bertanggung jawab. Pasal 12 Konvensi Jenewa 1949 memuat ketentuan bahwa tawanan perang adalah tawanan negara musuh dan bukan tawanan orang perorangan atau pun tawanan kesatuan militer yang telah menawan mereka.

Sehingga, walaupun tentara AS dan Inggris akan mempertanggungjawabkan tindakannya di muka pengadilan militer, namun tidak menjadikan negara AS dan Inggris dapat melenggang begitu saja. Suatu negara harus bertanggung jawab jika ditemui adanya kewajiban internasional yang berlaku; adanya suatu perbuatan atau kelalaiannya yang melanggar kewajiban internasional dimaksud; dan munculnya kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian. (M.N. Shaw, 1979)

Ketentuan mengenai perlindungan tawanan perang sebagaimana diatur oleh Konvensi Jenewa 1949 merupakan kewajiban internasional yang harus dipatuhi. Tentara AS dan Inggris sebagai representasi negaranya masing-masing telah melanggar kewajiban internasional dalam memperlakukan tawanan perang. Tentara AS dan Inggris dalam memperlakukan tawanannya telah banyak sekali melanggar pasal-pasal Konvensi Jenewa 1949. Hal ini sangat tragis di mana AS dan Inggris telah menyepakati isi dari Konvensi Jenewa 1949 dimaksud, tetapi tidak diimplementasikan oleh para tentaranya di medan perang.

BacA jUgA iNi



Category:

0 comments:

Post a Comment