PENANGANAN CYBERCRIME


Girasa (2002) mendefinisikan cybercrime sebagai: aksi kejahatan yang menggunakan teknologi komputer sebagai komponen utama. Tahun 2006 disebut-sebut sebagai tahun yang penuh bahaya bagi komputer. Di satu sisi spam melonjak tajam, di sisi lain banyak piranti lunak yang berlubang. Tingkat cybercrime paling tinggi pada tahun ini adalah spam. Lebih dari 90 persen email yang dikirim pada bulan Oktober merupakan junk mail, menurut Postini, sebuah perusahaan keamanan di San Carlos, California. Volume spam pun meningkat 60 persen dalam 2 bulan terakhir.

Tidak ada jaminan keamanan di cyberspace, dan tidak ada sistem keamanan computer yang mampu secara terus menerus melindungi data yang ada di dalamnya. Para hacker akan terus mencoba untuk menaklukkan sistem keamanan yang paling canggih, dan merupakan kepuasan tersendiri bagi hacker jika dapat membobol sistem keamanan komputer orang lain. Langkah yang baik adalah dengan selalu memutakhirkan sistem keamanan computer dan melindungi data yang dikirim dengan teknologi yang mutakhir pula.

Pada persoalan cyberporn atau cyber sex persoalan pencegahan dan penanggulangan nya tidaklah cukup hanya dengan melakukan kriminalisasi yang terumus dalam bunyi pasal. Diperlukan upaya lain agar pencegahannya dapat dilakukan secara efektif. Pengalaman beberapa Negara menunjukkan bahwa kerjasama antara pemerintah, aparat penegak hukum, LSM/NGO dan masyarakat dapat mengurangi angka kriminalitas. Berikut pengalaman beberapa Negara itu:
1. Di Swedia, perusahaan keamanan internet, NetClean Technology bekerjasama dengan Swedish National Criminal Police Department dan NGO ECPAT, mengembangkan program software untuk memudahkan pelaporan tentang pornografi anak. Setiap orang dapat mendownload dan menginstalnya ke computer. Ketika seseorang meragukan apakah material yang ada di internet itu legal atau tidak, orang tersebut dapat menggunakan software itu dan secara langsung akan segera mendapat jawaban dari ECPAT Swedia.
2. Di Inggris, British Telecom mengembangkan program yang dinamakan Cleanfeed untuk memblok situs pornografi anak sejak Juni 2004. Untuk memblok situ situ, British Telecom menggunakan daftar hitam dari Interent Watch Foundation (IWF). Saat ini British Telecom memblok kira-kira 35.000 akses illegal ke situs tersebut. Dalam memutuskan apakah suatu situ hendak diblok atau tidak, IWF bekerjasama dengan Kepolisian Inggris. Daftar situ itu disebarluaskan kepada setiap ISP, penyedia layanan isi internet, perusahaan filter/software dan operator mobile phone.
3. Norwegia mengikuti langkah Inggris dengan bekerjasama antara Telenor dan Kepolisian Nasional Norwegia, Kripos. Kripos menyediakan daftar situs child pornography dan Telenor memblok setiap orang yang mengakses situ situ. Telenor setiap hari memblok sekitar 10.000 sampai 12.000 orang yang mencoba mengunjungi situ situ.Kepolisian Nasional Swedia dan Norwegia bekerjasama dalam memutakhirkan daftar situs child pornography dengan bantuan ISP di Swedia. Situs-situs tersebut dapat diakses jika mendapat persetujuan dari polisi.
4. Mengikuti langkah Norwegia dan Swedia, ISP di Denmark mulai memblok situs child pornography sejak Oktober 2005. ISP di sana bekerjasama dengan Departemen Kepolisian Nasional yang menyediakan daftar situs untuk diblok. ISP itu juga bekerjasama dengan NGO Save the Children Denmark. Selama bulan pertama, ISP itu telah memblok 1.200 pengakses setiap hari.

Saat ini berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cybercrime. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer-related crime, di mana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporannya yang berjudul Computer-Related Crime: Analysis of Legal Policy. Laporan ini berisi hasil survey terhadap peraturan perundang-undangan Negara-negara Anggota beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer-related crime tersebut, yang mana diakui bahwa sistem telekomunikasi juga memiliki peran penting dalam kejahatan tersebut.

Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasarkan hukum pidana Negara-negara Anggota, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer-related crime tersebut. Pada perkembangan nya, CE membentuk Committee of Experts on Crime in Cyberspace of the Committee on Crime Problems, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan Draft Convention on Cyber-crime sebagai hasil kerjanya yang menurut Prof. Susan Brenner (dari University of Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.

Dari berbagai upaya yang dilakukan tersebut, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan global action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat transnasional. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah:
• Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut
• Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional
• Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime
• Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi
• Meningkatkan kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties

Penanganan Cybercrime di Indonesia
Meski Indonesia menduduki peringkat pertama dalam cybercrime pada tahun 2004, akan tetapi jumlah kasus yang diputus oleh pengadilan tidaklah banyak. Dalam hal ini angka dark number cukup besar dan data yang dihimpun oleh Polri juga bukan data yang berasal dari investigasi Polri, sebagian besar data tersebut berupa laporan dari para korban. Ada beberapa sebab mengapa penanganan kasus cybercrime di Indonesia tidak memuaskan:
1. Cybercrime merupakan kejahatan dengan dimensi high-tech, dan aparat penegak hukum belum sepenuhnya memahami apa itu cybercrime. Dengan kata lain kondisi sumber daya manusia khususnya aparat penegak hukum masih lemah.
2. Ketersediaan dana atau anggaran untuk pelatihan SDM sangat minim sehingga institusi penegak hukum kesulitan untuk mengirimkan mereka mengikuti pelatihan baik di dalam maupun luar negeri.
3. Ketiadaan Laboratorium Forensik Komputer di Indonesia menyebabkan waktu dan biaya besar. Pada kasus Dani Firmansyah yang menghack situs KPU, Polri harus membawa harddisk ke Australia untuk meneliti jenis kerusakan yang ditimbulkan oleh hacking tersebut.
4. Citra lembaga peradilan yang belum membaik, meski berbagai upaya telah dilakukan. Buruknya citra ini menyebabkan orang atau korban enggan untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.
5. Kesadaran hukum untuk melaporkan kasus ke kepolisian rendah. Hal ini dipicu oleh citra lembaga peradilan itu sendiri yang kurang baik, factor lain adalah korban tidak ingin kelemahan dalam sistem komputernya diketahui oleh umum, yang berarti akan mempengaruhi kinerja perusahaan dan web masternya.

Upaya penanganan cybercrime membutuhkan keseriusan semua pihak mengingat teknologi informasi khususnya internet telah dijadikan sebagai sarana untuk membangun masyarakat yang berbudaya informasi. Keberadaan undang-undang yang mengatur cybercrime memang diperlukan, akan tetapi apalah arti undang-undang jika pelaksana dari undang-undang tidak memiliki kemampuan atau keahlian dalam bidang itu dan masyarakat yang menjadi sasaran dari undang-undang tersebut tidak mendukung tercapainya tujuan pembentukan hukum tersebut.

BPHN telah mengadakan Pertemuan Ilmiah/Seminar Hukum untuk menggali dan menghimpun pemikiran para pakar/ahli guna mendapatkan jawaban atas permasalahan hukum yang menjadi perhatian dan kekahawatiran masyarakat luas. Salah satunya adalah makin marakanya kejahatan dan pelanggaran yang menggunakan atau melalui perantaraan Teknologi Informasi.
1. Perlu disusun Program Komisi Pemerintah untuk Pencegahan Kejahatan ( The Government Committee for Prevention of Crime) yang disingkat Government Committee
2. Perlu rekonstruksi cara berpikir dalam memahami KUHP, khusunya terkait dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan pornografi sehingga KUHP bisa diimplementasikan dalam penangan cyberporn
3. Perkembangan kejahatan transnasional yang melibatkan korporasi perlu disikapi secara hukum termasuk menyangkut aspek pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability)
4. Menyangkut kerjasama internasional dalam pencegahan dan penanggulangan cybercrime dan cyberporn :
A. Kerjasama internasional merupakan suatu kebutuhan mutlak dalam pencegahan dan penanggulangan cyberpornografi, khususnya child pornografi;
B. Kerjasama internasional perlu dikembangkan dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, nilai-nilai budaya serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tanpa merugikan kepentingan sah negara lain.
5. Dalam rangka mengembangkan hukum nasional sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap cybercrime dan cyberporn perlu dipertimbangkan instrumen-instrumen internasional terkait baik hard law maupun soft law agar tercipta hukum nasional yang berstandar internasional.
6. Pilihan yang dapat ditempuh dalam pengembangan hukum nasional dapat berupa : adopsi, adaptasi, modifikasi atau inovasi/invensi
7. Dalam penanganan kasus child pornografi perlu disertai dengan saksi ahli yang memahami aspek-aspek psikologis serta ditingkatkannya kepedulian pemerintah terhadap permaslahan ini.
8. Perlunya peningkatan kapasitas kelembagaan, personil, peralatan (termasuk laboratorium forensik) dan pelatihan dalam pencegahan dan penanggulangan Cyber Crime dan Cyber Porn, terutama di wilayah-wilayah dengan didukung oleh ahli-ahli setempat.
9. Perlu ditingkatkan kerjasama dibidang penegakan hukum dalam pemberantasan Cyber Porn, khusunya child pornografi serta menerapkan undang-undang perlindungan anak untuk menjerat pelakunya.
10. Pengalaman Malaysia dan negara-negara lainnya dalam pencegahan dan penagggulanganCyber Crime dan Cyber Porn perlu menjadi acuan dan pertimbangan dalam pengembangan hukum nasional dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
11. Pendekatan 'self-regulatory' disamping 'legislasi' menjadi salah satu alternatif pendekatan dalam pencegahan dan penanggulangan Cyber Crime dan Cyber Porn dengan melibatkan berbagai kalangan, termasuk industri.
12. Perlu 'penguatan komunitas nyata (real community) dengan maksud untuk membangun kembali dan memperkuat rasa kebersamaan menyangkut tempat nyata (keluarga, desa, kota, negara) yang di dalamnya berlangsung interaksi sosial secara tatap muka (face to face) yang karena sifatnya yang tak-anonim mendorong setiap orang untuk memperkuat landasan moral dan etika dari setiap tindakan.
13. Perlu membangun ulang 'budaya malu (shame culture) yang mulai terkikis di dalam dunia tanpa sekat dan telanjanng.
14. Perlu membangun cyberwacht yang kuat, yaitu mekanisme 'pengawas' dari komunitas itu sendiri terhadap efek-efek negatif dari cyberporn terhadap setiap warganya.
15. Fungsi 'pengawasan' (wacht) harus dibangun secara bertingkat-tingkat dan berlapis-lapis (stratified wachting system), mulai dari tingkat individu (self-wachting), keluarga, rukun tetangga, sekolah, desa, kota, wilayah dan negara).
16. Perlu dibuatkan semacam sistem 'pemata-mataan' (surveillance system) yang memungkinkan aktivitas melihat cyberporn dapat dideteksi lebih awal, terutama di tempat-tempat umum seperti warnet. Rasa keterawasan (surveilanced) setidak-tidaknya dapat menimbulkan 'rasa takut terlihat' atau 'rasa bersalah' pada diri setiap orang yang memasuki dunia haram cyberporn itu

SUMBER:
• www.cybercrime.gov/ - 14k –
• www.cert.or.id/~budi/articles/cybercrime.doc
• www.bi.go.id/NR/rdonlyres/BAC5998C-7A10-400F-8A24-C6C5B22277FE/4558/04Perkembangan_Cybercrime.pdf -
• www.depkominfo.go.id/portal/?act=detail&mod=artikel_itjen&view=1&id=BRT061002181001 –
• www.bphn.go.id/index.php?modName=berita&cfg=news&todo=news&id=57&sisid=

BacA jUgA iNi



Category:

0 comments:

Post a Comment